Hikmah Ibadah Menyembelih Qurban Hewan

foto: https://www.mustafalan.com

Kata qurban berasal berasal dari qaruba yaqrubu qurban wa qurbanan yang artinya mendekat atau pendekatan. Menurut arti qurban artinya jalankan ibadah penyembelihan binatang di di di dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah Qurban udah dituntunkan sejak nabi Adam as [QS Al Maidah 5: 27]. Sedang Ibadah Qurban yang ditunaikan umat Islam tepat ini itba’ kepada sunnah nabi Ibrahim as. Dalam QS Al Kautsar 108: 2 Allah swt berfirman: ”Fashalli lirabbika wanhar” (Maka dirikanlah sholat gara-gara Tuhanmu dan berqurbanlah). Sedang Rasulullah saw melarang orang yang sanggup berqurban namun tidak berkorban untuk mendekati mushallanya.” [HR Ahmad] Namun demikianlah Allah mengingatkan bahwa darah dan daging qurban tidak sanggup hingga kepada-Nya, yang hingga adalah ketakwaan [QS Al Haj 22: 37].

Sejarah Qurban

Al-Qur’an memastikan hakikat Qurban, melalui kisah Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Isma’il tercinta di di di dalam surat Al-Shafat, ayat : 102-109. Kisahnya begini; Nabi Ibrahim bicara kapada Nabi Ismail : “Wahai anakku, memang aku melihat di di di dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?” Nabi Ismail menjawab tepat itu termasuk dengan dengan tenang dan penuh keyakinan : “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan (oleh Allah) kepadamu, kau sanggup mendapatkanku – insya Allah – termasuk orang-orang yang sabar”. Allah setelah itu bercerita : “Tatkala keduanya udah berserah diri (tunduk pada perintah Allah) dan Ibrahim membaringkan anaknya (pelipsnya menimpel di atas daerah penyembelihan), Kami langsung memanggil (dari arah gunung) : wahai Ibrahim, Sudah kau benarkan (dan kau laksanakan) apa yang kau melihat di di di dalam mimpimu itu, memang demikinlah Kami memeberi balasan (kepadamu) dan termasuk kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh (perintah penyembelihan ini) adalah benar-benar ujian (bagi Ibrahim, di mana dengannya muncul dengan dengan menyadari siapa yang ikhlash dan siapa yang tidak). Dan kita langsung menebus anak (yang sanggup disembelih itu) dengan dengan seekor sembelihan yang besar. Pun Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang mampir kemudian. Salam sejahtera (dari Kami) menyebabkan Ibrahim, dan sebutan yang baik baginya (dari tiap tiap manusia)”.

Apa yang biasa kita buktikan melalui kisah di atas bahwa berqurban merupakan tidak benar satu sistem pendekatan kepada Allah SWT?
Jawabannya :
a. Kepribadian Nabi Ibrahim, yang demikianlah keseluruhan menyatakan ketaatannya kepada Allah. Tidak muncul di di di dalam sikapanya sebuah keraguan, atau keberatan. Begitu menerima perintah berasal dari Allah untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail, – anak yang ditunggu-tunggu kelahirannya sekian lama hingga ia menggapai usia tua – Nabi Ibrahim langsung mampir ke Ismail dan menympaikan perintah tersebut. Padahal secara psikologis Nabi Ibrahim sungguh benar-benar harus seorang keuturunan. Bayangkan, di tengah pengembaraan yang jauh, di sebuah lembah padang sahara yang kering, tanpa pohonan dan tanaman, Nabi Ibrahim hidup. Ditambah ulang usianya yang memang udah benar-benar mebutuhkan seorang anak muda untuk menunjang ketidakmampuannya. Tapi lihatlah, totalitas penyerahan diri Nabi Ibrahim kepada Sang Pemilik Bumi dan langit.
b. Kepribadian Nabi Ismail, yang benar-benar memhami keaguangan perintah Allah. Artinya bahwa perintah itu harus langsung dilaksanakan. Tidak usah ditawar-tawar dan ditunda-tunda lagi. Seketika ia berserah diri dengan dengan penuh kesabaran. Sungguh ungkapan Nabi Ismail dengan dengan panggilan “yaa abati” mengekspresikan kecintaan nabi Ismail dan kedekatannya kepada sang ayah, pun termasuk kepasrahan totalnya pada perintah Allah, di mana dengan dengan ungkapan itu tergambar dengan dengan menyadari bahwa ia tidak menjadi kaget sama sekali. Melainkan langsung menerimanya dengan dengan lapang dada dan penuh kepasrahan.
c. Sikap Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yang tanpa banyak bicara dan diskusi di di di dalam menerima “isyarat” yang muncul di di di dalam mimpinya “ru’ya”, di mana kaduanya langsung bergerak menuju daerah penyembelihan. Nabi Ismail langsung berbaring, memasang pelipisnya ke bumi. Nabi Ibrahim langsung bergerak untuk menyembelihnya. Sungguh sebuah pemandangan yang benar-benar mengharukan. Dan berasal dari momen itu muncul dengan dengan menyadari hakikat kepasrahan dan ketaatan yang hakiki berasal dari ke dua hamba tersebut, kepada Allah, Tuhannya. Allah tepat itu termasuk melihat kesungguhan ke dua hamba itu di di di dalam mentaati perintah-Nya. Allah berfirman “qad saddaqta ru’ya”, kau udah membetulkan “ru’ya” itu (wahai Ibrahim), dan kau udah melaksanakannya. Allah tepat itu termasuk pula mengambil alih Nabi Ismail dengan dengan seekor sembelihan yang besar. Sebab yang paling utama berasal dari hakikat qurban ini, adalah sejauh mana tingkat kepasrahan sang hamba kepada Allah SWT, dan sejauh mana tingkat ketaatannya kepada-Nya, sejauh mana doa menyembuhkan sakit kepala ingkat ketabahannya di di di dalam bertekun ajaran yang udah Allah tetapkan.
Ketiga, bahwa hakikat “qurban” merupakan tidak benar satu ujian berasal dari Allah, yang dengannya tiap tiap mu’min sanggup mengukur hakikat keimanannya, hakikat ketaatannya kepada perintah Allah, hakikat kedekatannya kepada Allah. Sungguh Allah tidak meminta berasal dari apa yang berlangsung pada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sehingga kita menyakiti diri kita dan melukai tubuh kita, sebagai simbol pendakian rohani kepada Allah. Tidak, sekali-kali tidak. Melainkan yang Allah kehendaki adalah totalitas ketaatan kita kepada-Nya, dengan dengan penuh keikhlasan, ketenangan, kerelaan dan keyakinan. Karenanya Allah langsung menggantinya dengan dengan seekor sembelihan.

Keempat, bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismali dengan dengan sikapnya itu, Allah berikan predikat sebagai seoran “muhsin” (seorang yang berbuat baik), dan siapa saja yang mengikuti jejak nabi Ibrahim, dengan dengan menghadiahkan seekor sembelihan qurban, atas semangat ketaatan kepada Allah SAW, dan keikhlasannya yang paling dalam, ia sanggup termasuk kaum “muhsinin” itu.

Published
Categorized as Journal